BACATENGERANG.COM – Tangerang sebagai kota kecil metropolitan, bila dirunut pada benang merahnya tentu tidak lepas peranan dari sisi sejarah. Kota yang terbangun dengan sangat indah sekarang ini juga memiliki sisi historis yang sangat kental akan budaya dan kehidupan masyarakatnya. Bahkan, sejak jaman kompeni saja masyarakat Tangerang sudah memegang teguh rasa persaudaraan.
Persaudaraan memiliki makna yang luas, tetapi saya akan berbicara ke dalam konteks kehidupan masyarakat Tionghoa yang sudah menetap lama di Tangerang. Jika membahas tentang kehidupan masyarakat Tionghoa atau akrab disapa cina benteng di Tangerang, maka tak akan lepas dari sisa-sisa peninggalannya yaitu Tanah Gocap dan Tanah Cepe. Keduanya merupakan sebuah tempat yang berisikan kuburan-kuburan berukuran besar.
Untuk mengetahui siapa orang pertama yang disemayamkan di tempat itu nampaknya lumayan susah, sebab Tanah Gocap dan Tanah Cepe sudah ada sejak ratusan tahun lamanya. Sempat ketika saya melintasi tempat tersebut melihat batu nisan yang tertera, wafat di tahun 1901. Nah, itu hanya salah satunya, mungkin ada yang lebih lama lagi.
Dari segi lokasi, keduanya terpisah. Tanah Gocap berada di sepanjang Jl. Perguruan Buddhi sangat mudah untuk dilihat karena nampak di ruas kanan dan kiri jalan berderet makam-makam yang sangat besar. Areal pemakaman di Tanah Gocap memiliki luas 17 hektar. Dan dijaga oleh tokoh yang bernama Koh Picis. Pria yang sudah hampir hidup setengah abad ini merupakan sosok yang mewarisi tradisi keluarga dalam menjaga Tanah Gocap. Koh Picis sekarang hidup digenerasi ke 4 dalam silsilah keluarganya. Di Tanah Gocap juga tersimpan perahu naga atau pechun, yang biasa diperlombakan dalam perayaan festival tahunan Tangerang.
Bahkan, kurang lebih di tahun 1901 ada salah satu pechun yang sempat mengalami insiden disaat perlombaan yang hanya tersisa bagian depan kepala perahunya yang berbentuk kepala naga. Seiring berjalannya waktu, perahu tersebut dikeramatkan dan dibuat baru yang serupa seperti perahu aslinya hingga dapat dipergunakan kembali di tahun 1960 di sebuah perlombaan.
Disamping itu juga, Pak Picis menerangkan bahwa terdapat makam muslim yang konon katanya keramat. Adanya makam seorang muslim di Tanah Gocap tersebut tidak bisa dijelaskan, sebab makam tersebut sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Namun alasan jelas menurutnya, dahulu di era penjajahan Belanda para pejuang di Tangerang yang bertempur, sebagian ada yang gugur dan segera dimakamkan di Tanah Gocap. Kita bisa tarik asumsi bahwa para pejuang dahulu tidak mengenal perbedaan agama, sangat mengedepankan toleransi. Semua demi mengutuhkan pengorbanan dan kemerdekaan di tanah Tangerang.
Kemudian, Tanah Cepe yang berada di Jl. Imam Bonjol No.41 memiliki areal tanah seluas 30 hektar. Berbeda dengan Tanah Gocap yang terletak persis di sisi jalan utama, Tanah Cepe sendiri berada menjorok ke dalam dekat dengan pemukiman warga. Tidak jauh berbeda dengan Tanah Gocap yang memiliki tokoh penjaga, Tanah Cepe memiliki tokoh penjaga yang bernama Koh Ecing.
Dibalik kedua pemakaman yang besar tersebut terdapat sisi menarik yang bisa diungkap. Bersumber dari para perawat makam yang bercerita tentang betapa enaknya bekerja menjaga makam agar tetap bersih.
Salah satunya adalah Pak Acung yang bercerita bahwa menjaga makam bukan persoalan membersihkan saja, namun ada nilai keuntungannya. Diterangkan bahwa untuk merawat satu makam saja ia bisa mengantongi 200 ribu rupiah, itu dalam jangka waktu satu bulan. Ada juga yang meminta untuk merawat makam dalam 1 tahun. “Ya, gimana enaknya aja. Saya kan disini cuma bertugas merawat dan menjaga makam saja. Balik lagi, itu tergantung dari pihak keluarga yang meminta untuk satu bulan. Bahkan kalau ada yang dari luar kota. Mereka seakan langsung paham dan mengerti dengan memberikan uang lebih” Tutur Acung.
Jadi, apabila satu makam dihadiahi upah sebesar 200 ribu rupiah, tinggal dihitung saja dalam beberapa makam yang terdapat disitu, sebanyak kurang lebih keduanya memiliki 7000 makam. Sangat lumayan sekali bukan? Namun, banyak anggapan selama ini bahwa menjaga kuburan adalah profesi yang kurang dipandang. Sebenarnya gajinya lumayan fantastis, yang membedakan hanya saja kalau seorang karyawan memakai seragam dan tinggal enak di dalam gedung atau ruangan. Kalau penjaga makam, berada dibawah sinar matahari dengan alat pacul, arit dan peralatan memotong lainnya.
Tak hanya penjaga makam saja yang berperan di Tanah Gocap dan Tanah Cepe. Sebenarnya dibalik adanya makam-makam itu ada peran besar dari orang-orang perkumpulan Boen Tek Bio. Dibawah garis prosedural, dimana dalam ajaran agama Konghucu apabila ingin disemayamkan di Tanah Gocap atau Tanah Cepe harus diinapkan dulu di rumah duka Boen Tek Bio barulah pihak keluarga dapat memilih tempat untuk dikuburkan. Namun, tidak semua yang menginginkan untuk dikubur, untuk prosesi penyemayaman dalam budaya Konghucu terbagi 3, yaitu dikubur, dibakar atau dilarungkan ke laut. Semua itu sama saja, sama-sama membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tergantung pihak keluarga atau keinginan almarhum.
Seperti makam dalam agama Islam yang biasanya diziarahi, pemakaman Tanah Gocap dan Tanah Cepe yang mayoritasnya beragama Konghucu sama juga sering didatangi pihak keluarga. Mengirimkan doa dilakukan di beberapa perayaan, seperti perayaan Ceng Beng, Imlek dan Lebaran Bungkus. Kalau penasaran silahkan saja datang di bulan kedua, keempat di pertengahan dan bulan ketujuh. Lihat bagaimana padatnya Tanah Gocap dan Tanah Cepe yang ramai dikunjungi pihak keluarga.
Sesungguhnya kedua tempat pemakaman itu merupakan warisan yang sangat berarti bagi Tangerang, namun sayangnya ada pihak yang kurang bermoral, memaknai tempat tersebut sebagai tempat untuk melakukan tindak asusila. Yang harusnya kita sadar untuk menjaga keasrian dan mempopulerkan bersama, bahwa Tangerang mempunyai sebuah tempat yang mengandung nilai sejarah tinggi, tidak hanya sebatas kenal bahwa itu adalah gundukan berupa kuburan besar.
Oh iya, terakhir saya berpikiran kalau jangan-jangan pemeberian nama Tanah Gocap dan Tanah Cepe ini kemungkinan besarnya adalah berasal dari harga tanah dahulu di Tangerang? Yang harga tanah nya masih terhitung seratus rupiah dan lima puluh rupiah.