KOOONG: TAK ADA YANG LEBIH BERHARGA DARI SEBUAH KESEDERHANAAN

IWAN SIMATUPANG

BACATANGERANG.COM – Iwan Simatupang, pertama kali saya mendengar namanya sewaktu menghadiri acara seni dan budaya di Galeri Indonesia Kaya. Di saat yang sama, pertama kali juga saya mendengar salah satu judul karya beliau, yaitu Ziarah.

Kali ini saya mendapatkan kesempatan untuk membaca buku karya Iwan Simatupang yang berjudul Kooong. Melalui istri saya, Meita Eryanti, kami meminjam buku ini dari Rumah Baca Masyarakat Kali Atas, Bandung, yang dikelola oleh Pak Agus Sopandi.

Buku ini berkisah tentang seekor perkutut. Perkutut yang biasa saja. Bulunya seperti perkutut biasa. Sisik kakinya seperti perkutut biasa. Paruhnya seperti perkutut biasa. Lalu kooong-nya? Malah tidak ada kooong-nya, tidak bisa berbunyi. Perkutut bisu atau biasa disebut perkutut gule.

Tapi siapa sangka, perkutut gule ini malah dirawat dengan baik oleh Pak Sastro, pemilik perkutut itu. Vitamin dan jamu khusus perkutut pun tak lupa selalu Pak Sastro berikan. Pak Sastro memperlakukannya dengan istimewa.

Bukan apa-apa, pasalnya perkutut ini menjadi pelipur lara Pak Sastro. Sebab, Pak Sastro adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya karena bencana banjir bandang. Dan si Amat, anak semata wayangnya, mati tergilas Lokomotif yang sedang lansir di Pasar Senen, kota tempat Amat merantau.

Suatu hari, Pak Sastro yang hidup sendiri dan begelimang harta, tanah, sawah, dan kebun, ditinggal oleh perkututnya. Perkutut itu kabur dari sangkar. Hilangnya perkutut itu, mengubah segalanya.

Pak Sastro berubah menjadi sensitif. Warga kampung yang notaben petani, tatanan sosialnya pun berubah sebab harta Pak Sastro yang dititipkan lalu dikorup. Semuanya menjadi kacau. Bahkan desanya pun menjadi kacau. Sampai di titik ini cerita yang sebenarnya baru dimulai.

Baca Juga:  Jaksa Agung Muhammad Prasetyo Yang Mengidap Fobia Komunis

Banyak pelajaran hidup secara tersurat disampaikan oleh Iwan Simatupang pada buku Kooong. Persoalan hidup yang begitu dekat, tentang amanah, korupsi, memakan harta yang bukan hak, kejujuran untuk menegakan kebenaran, kebebasan, pencarian, kehilangan, pertanggungjawaban, dan masih banyak lainnya. Namun semua itu tetap saja kembali terhadap kepekaan hati pembaca.

Saya petik satu saja, yaitu kesederhanaan. Pak Sastro mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa di rumah. Istimewa atau tidak, itu sebatas perasaan kita, hanya saja sikap kita yang malah berlebihan. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang biasa-biasa saja?

Orang-orang di desa memandang Pak Sastro hanya dari hartanya. Ketika Pak Sastro merawat seekor perkutut gule, lantas Pak Sasrto ditertawakan. Dengan harta yang dimiliki, tentu tidak mustahil untuk Pak Sastro bisa membeli perkutut yang memiliki suara indah.

Tapi bukan itu yang Pak Sastro cari. Pak Sastro sudah kepalang sayang dengan perkutut gule itu. Perasaan sayang itu lah yang ia cari. Siapa yang menyangka, justru sesuatu yang biasa-biasa saja, yang punya bentuk apa adanya, malah menimbulkan rasa kasih dan sayang.

Kendaraan di rumah, kursi-kursi reot, lemari, dan pakaian yang biasa-biasa saja itu, yang tidak ada istimewanya sering kali nampak sayang untuk kita buang. Sulit untuk kita tanggalkan karena sudah kadung sayang dan menyimpan kenangan. Tak ada yang lebih berharga dari sebuah sikap kesederhanaan.

Hal-hal yang biasa saja namun jika kita rasakan lebih dalam malah menimbulkan rasa syukur kita kepada Tuhan yang Maha Pengasih atas apa yang kita terima sebagai hambanya.

Semua persoalan hidup yang terjadi dalam Kooong sering kali kita alami sendiri. Bahkan nampak klise dan biasa. Tetapi dengan kepiawaian Iwan Simatupang, semua persoalan diukir menjadi kisah yang begitu epik.

Saya sebagai pembaca tidak sadar jika batin ini sedang disentuh. Semua berlangsung begitu saja, secara perlahan tapi pasti, melalui peristiwa demi peristiwa dalam buku Kooong ini. Saya sangat terkesan membaca buku ini, sampai tidak sadar sudah berada di halaman akhir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *